Friday, December 13, 2013

Indonesian Coal Mining Regulation (Part 1)

Tercantum dalam UUD 1945 Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Pasal 33, Ayat ke 3, berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
 
Selanjutnya diatur dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang "Pembaruan Agraria dan Pengeloalaan Sumber Daya Alam", menimbang segala aspek yang perlu diperhatikan telah memutuskan beberapa hal terkait pengelolaan sumberdaya alam.
 
Pasal 3 dalam keputusan TAP MPR tersebut menyatakan "Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pasal 4 berbunyi "Negara mengatur pengelolaan sumberdaya agraria dan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
 
Pasal 5 menjelaskan beberapa prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam :
 
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Republik Indonesia;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; d. rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia;
e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;
f. Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
g. Memelihara berkelanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;
h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembauran agraria dan pengelolaan sumberdaya alam;
j. Mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah propinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.
 
Pasal 6 mengatur beberapa arah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu ;
 
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaskud Pasal 5.
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut.
e. Memperhatikan konflik-konflik pemanfataan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5.
f. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.
 
 
Pasal 7 dan 8 menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembauran agraria dan sumberdaya alam dengan menjadikan TAP MPR sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan. Dan menugaskan Presiden untuk segera melaksanakan TAP MPR tersebut tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.


Undang-Undang Pertama

Dalam sejarah Indonesia, Undang-Undang yang mengatur kegiatan pertambangan pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 37 Tahun 1960 (PERPU 37/1960). Peraturan pemerintah ini diambil dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu :

a. bahwa hukum pertambangan harus merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden/Panglima tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia tertanggal 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan dalam pasal 33 UUD dan Manifesto Politik Republik Indonesia tersebut 17 Agustus 1959, sebagai yangditegaskan dalam amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1960 yang mewajibkan Negara mengatur penambangan bahan galian di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara gotong-royong maupun secara perseorangan;
b. bahwa bahan-bahan galian mempunyai arti yang penting sebagai unsur guna bahan pembangunan berbagai cabang industri dan sebagai bahan-bahan yang langsung diperlukan rakyat
c. bahwa peraturan-peraturan pertambangan yang berlaku sekarang tidak sesuai lagi dengan dasar-dasar pembangunan semesta
d. bahwa karena itu dianggap perlu adanya suatu peraturan baru tentang pertambangan agar penyelenggaraan usaha pembangunan dapat dilakukan dengan segiat-giatnya dan dengan tegas menuju kepada cita-cita bangsa yang dimaksud diatas
e. bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Pada tahun 1967, PERPU 37/1960 dicabut dan diganti oleh UU No 11 Tahun 1967. Ada 2 hal yang menjadi pertimbangan Pemerintah bersama DPR dalam mengeluarkan UU No 11/1967, bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional maka ddiperlukan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensial di bidang pertambangan dan untuk lebih sesuai dengan kenyataan yang ada, dalam rangka meperkembangkan usaha-usaha pertambangan Indonesia dimasa sekarang dan dikemudian hari. Kedua hal inilah yang menjadi pertimbangan pencabutan PERPU No 37/1960.

Setelah 42 tahun, tepatnya pada tahun 2009, Pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan ini tertuang dalam UU No 4 Tahun 2009 dan selanjutnya hingga saat ini (2013), UU tersebut menjadi landasan bagi Pemerintah dalam mengeluarkan peraturan mengenai pertambangan Mineral dan Batubara.

UU No 4 tahun 2009 menilai bahawa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum Indonesia meruapakan kekayaan alam yang tak terbarukan karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian. Bahwa kegiatan pertambangan mineral dan batubara tidak termasuk panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia dan selanjutnya menimbang bahwasanya UU No 11 tahun 1967 sudah tidak sesuai lagi dan dibutuhkan perubahan untuk dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan secara berkelanjutan.


Dengan dikeluarkannya UU No 4 tahun 2009, maka implikasinya adalah UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dan semua peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No 11 tahun 1967 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU No 4 Tahun 2009.

 
To be continued... (Part 2)
 
Source data : www.minerba.esdm.go.id dan Berbagai Sumber
 
 

No comments:

Post a Comment